Format LaporanObservasi
Magister SainsPsikologi
Mengobservasi
Perilaku Agresif pada Siswa-siswi Kelas 3 (Special Need Students) SDN
Kemayoran II Surabaya
Bab I
Perilaku
agresif yang terjadi di lingkungan sekolah jika tidak segera ditangani, di
samping dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa
cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Situasi demikian
akan membentuk siswa untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga
perilaku agresif siswa di sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas. Dalam
pandangan yang optimis, perilaku agesif bukan suatu perilaku yang dengan
sendirinya ada di dalam diri manusia (not innately given), tetapi merupakan
perilaku yang terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan. Dengan demikian,
siswa yang mempunyai perilaku agresif, melalui pengalaman dan pendidikan
perilakunya dapat diubah menjadi perilaku yang lebih positif. Banyak penelitian
yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku agresif terkait dengan rendahnya
keterampilan sosial anak, di samping itu juga terkait dengan rendahnya
kemampuan anak dalam mengatur/ mengelola emosinya. Dengan demikian, melalui
pembelajaran keterampilan sosial dan emosional, perilaku agresif siswa di sekolah
diharapkan dapat direduksi.
1.1
Permasalahan
Pendidikan Inklusif adalah
sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan fisik dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam
lingkungan pendidikan bersama - sama dengan peserta didik pada umumnya ( UU
Nomor 70 tahun 2009).
Anak berkebutuhan khusus (
ABK) adalah semua anak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual dan / atau sosial berhak memperoleh pendidikaan atau penyimpangan
bersifat fisik dan memilki kecerdasan
istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus ( UU No: 20/2003 Pasal 6 ayat 2
dan ayat 4). Anak berkebutuhan khusus
terdiri dari :
1. Tunanetra
2. Tunarungu dan/atau wicara
3. Tunagrahita (ringan, sedang, berat)
4. Tunadaksa (ringan, sedang, berat)
5. Tunalaras
6. Gifted & talented (Berbakat)
7. Kesulitan Belajar
8. Lamban Belajar
9. Autistik
10. Penyakit kronis/HIV/AID, dll.
Siswa Kelas 3
SDN KEmayoran II/25 Surabaya terdiri dari 3 anak Down Syndrom, 1 Anak lambat
belajar dan 1 satu anak Slow learner dan hiperaktif dan 1 anak autis.Setiap
hari anak
yang perilakunya membahayakan anak atau orang lain. Misalnya, menusukkan pensil
yang runcing ke tangan temannya, mengayun-ayunkan tasnya sehingga mengenai orang
yang berada di sekitarnya, menjatuhkan teman yang sedang
duduk, memukul teman tanpa alasan, marah – marah kepada teman, membanting kursi
dan ada juga anak yang selalu memaksa
temannya untuk melakukan sesuatu yang ia inginkan.Perilaku demikian dikenal dengan
sebutan perilaku agresif.
Sekolah, seharusnya menjadi tempat yang
menyenangkan, tempat yang aman dan sehat, tempat di mana para siswa dapat
mengembangkan berbagai potensi yang mereka miliki dengan sepenuhnya. Namun,
masuk ke dalam lingkungan sekolah bagi seorang siswa ternyata tidak selalu
menyenangkan, mungkin malah sebaliknya bisa membuat mereka stress, cemas dan
takut. Bayangan akan terjadinya tindak kekerasan saat memasuki lingkungan
sekolah sering menghantui siswa.
1.2
Kenapamemilih topic tersebut
Sekolah, seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, tempat
yang aman dan sehat, tempat di mana para siswa dapat mengembangkan berbagai
potensi yang mereka miliki dengan sepenuhnya. Namun, masuk ke dalam lingkungan
sekolah bagi seorang siswa ternyata tidak selalu menyenangkan, mungkin malah
sebaliknya bisa membuat mereka stress, cemas dan takut. Bayangan akan
terjadinya tindak kekerasan saat memasuki lingkungan sekolah sering menghantui
siswa.
Dampak utama dari perilaku agresif ini adalah anak tidak
mampu berteman dengan anak lain atau bermain dengan teman-temannya. Keadaan ini
menciptakan keadaan setan, semakin anak tidak diterima oleh teman-temannya maka
makin menjadilah perilaku agresif yang ditampilkannya.
Harus
dibedakan perilaku agresif yang sifatnya situasional dengan perilaku agresif
yang merupakan respons dari keadaan frustasi, takut, atau marah dengan cara
mencoba menyakiti orang lain.
1.3
Adalahlandasan (singkat) danjurnalpendukung
Sehubungan
dengan perilaku agresif siswa di sekolah, Wilson, et al. (2003: 136) menyatakan:
“These behaviors, even when not overtly violent, may inhibit learning and
create interpersonal problems for those involved”. Selanjutnya, dengan mengutip
pendapat Goldstein, Harootunian, & Conoley, (1994), Wilson, et al. (2003)
menyatakan: “In addition, minor forms of aggressive behavior can escalate, and
schools that do not effectively counteract this progression may create an
environment in which violence is normatively acceptable”. Dengan demikian, jika
perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekolah tidak segera ditangani, di
samping dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa
cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Semakin sering siswa
dihadapkan pada perilaku agresif, siswa akan semakin terbiasa dengan situasi
buruk tersebut, kemampuan siswa untuk beradaptasi dengan perilaku agresif akan
semakin tinggi, dan akan berkembang pada persepsi siswa bahwa perbuatan agresif
merupakan perbuatan biasa-biasa saja, apalagi jika keadaan ini diperkuat dengan
perilaku sejumlah guru yang cenderung agresif pula ketika menghadapi
murid-muridnya. Situasi demikian akan membentuk siswa untuk meniru dan
berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di sekolah dianggap
biasa dan akan semakin meluas.
C.
Bentuk-Bentuk Perilaku Agresif
Masing-masing ahli berbeda-beda dalam menggolongkan bentuk-bentuk perilaku agresif, ada yang menggolongkan bentuk perilaku agresif ke dalam bentuk fisik dan bentuk mental (misalnya Berkowitz, 2003), ada yang membaginya ke dalam bentuk perilaku agresif langsung dan perilaku agresif tidak langsung (misalnya Wilson, 2003). Sementara itu, Persson menggolongkan perilaku agresif ke dalam empat bentuk sebagaimana yang ia nyatakan sebagai berikut: “The form of the aggressive behaviour could be (1) physical; (2) verbal; (3) social/relational; or (4) manifested as grabbing or destruction of peers’ objects” (Persson 2005: 84).
Dalam tulisan ini, perilaku agresif digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu fisik dan mental, dengan masing-masing contohnya sebagai berikut:
- Perilaku agresif secara fisik, contohnya:
Mendorong, Menarik, Memukul, Menendang, Mengguncang, Melempar, Mencubit, Mencakar, Mencekik , Menarik rambut, dll.
- Perilaku agresif secara mental, conyohnya:
Mengancaman, Melotot, Mengolok-olok, Mengejek, Mengata-ngatai, Membentak, Meneriaki, Mengasingkan, Menyebarkan rumor , dll.
D. Penyebab Perilaku agresif
Topik-topik di dalam kajian bidang psikologi dapat ditinjau melalui berbagai sudut pandang yang berbeda-beda. Perbedaan sudut pandang tersebut tergantung pada teori masing-masing yang mendasarinya.
Khusus mengenai perilaku agresif, misalnya, mereka yang menggunakan perspektif biologi (biological perspective) akan memperhatikan bagaimana hormon, temperamen, otak dan nervous system berdampak pada perilaku agresif. Sementara mereka yang menekankan perspektif tingkah laku (behavioral perspective) akan memperhatikan bagaimana variabel-variabel lingkungan dapat menguatkan tindakan-tindakan agresif. Adapun menurut pandangan psikoanalisa, perilaku agresif manusia sebagian besar didorong oleh sifat bawaan manusia yang destruktif, yang oleh Freud dinamakan thanatos, atau insting kematian. Dari sudut pandang ethologi (ilmu tentang perilaku hewan), agresi adalah insting berkelahi dalam rangka mempertahankan hidup dari ancaman spesies lain. Sementara itu, teori frustrasi berpandangan bahwa setiap perilaku manusia memiliki tujuan tertentu, jika seseorang gagal dalam mencapai tujuannya maka akan timbul perasaan frustrasi, selanjutnya, keadaan frustrasi akan dapat menimbulkan agresi, dan intensitas frustrasi yang ter-gantung pada besarnya ambisi individu dalam mencapai tujuan, banyaknya penghalang, dan berapa banyak frustrasi yang pernah dialami sebelumnya.
Teori-teori perilaku agresif yang telah dikemukakan di atas sebagian besar merupakan “pandangan yang pesimis” terhadap kemungkinan dapat diubahnya perilaku agresif menjadi perilaku yang positif. Sebagai seorang yang bergelut di dunia pendidikan, penulis lebih tertarik dengan “pandangan yang lebih optimis” terhadap kemungkinan dapat diubahnya perilaku agresif.
Masing-masing ahli berbeda-beda dalam menggolongkan bentuk-bentuk perilaku agresif, ada yang menggolongkan bentuk perilaku agresif ke dalam bentuk fisik dan bentuk mental (misalnya Berkowitz, 2003), ada yang membaginya ke dalam bentuk perilaku agresif langsung dan perilaku agresif tidak langsung (misalnya Wilson, 2003). Sementara itu, Persson menggolongkan perilaku agresif ke dalam empat bentuk sebagaimana yang ia nyatakan sebagai berikut: “The form of the aggressive behaviour could be (1) physical; (2) verbal; (3) social/relational; or (4) manifested as grabbing or destruction of peers’ objects” (Persson 2005: 84).
Dalam tulisan ini, perilaku agresif digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu fisik dan mental, dengan masing-masing contohnya sebagai berikut:
- Perilaku agresif secara fisik, contohnya:
Mendorong, Menarik, Memukul, Menendang, Mengguncang, Melempar, Mencubit, Mencakar, Mencekik , Menarik rambut, dll.
- Perilaku agresif secara mental, conyohnya:
Mengancaman, Melotot, Mengolok-olok, Mengejek, Mengata-ngatai, Membentak, Meneriaki, Mengasingkan, Menyebarkan rumor , dll.
D. Penyebab Perilaku agresif
Topik-topik di dalam kajian bidang psikologi dapat ditinjau melalui berbagai sudut pandang yang berbeda-beda. Perbedaan sudut pandang tersebut tergantung pada teori masing-masing yang mendasarinya.
Khusus mengenai perilaku agresif, misalnya, mereka yang menggunakan perspektif biologi (biological perspective) akan memperhatikan bagaimana hormon, temperamen, otak dan nervous system berdampak pada perilaku agresif. Sementara mereka yang menekankan perspektif tingkah laku (behavioral perspective) akan memperhatikan bagaimana variabel-variabel lingkungan dapat menguatkan tindakan-tindakan agresif. Adapun menurut pandangan psikoanalisa, perilaku agresif manusia sebagian besar didorong oleh sifat bawaan manusia yang destruktif, yang oleh Freud dinamakan thanatos, atau insting kematian. Dari sudut pandang ethologi (ilmu tentang perilaku hewan), agresi adalah insting berkelahi dalam rangka mempertahankan hidup dari ancaman spesies lain. Sementara itu, teori frustrasi berpandangan bahwa setiap perilaku manusia memiliki tujuan tertentu, jika seseorang gagal dalam mencapai tujuannya maka akan timbul perasaan frustrasi, selanjutnya, keadaan frustrasi akan dapat menimbulkan agresi, dan intensitas frustrasi yang ter-gantung pada besarnya ambisi individu dalam mencapai tujuan, banyaknya penghalang, dan berapa banyak frustrasi yang pernah dialami sebelumnya.
Teori-teori perilaku agresif yang telah dikemukakan di atas sebagian besar merupakan “pandangan yang pesimis” terhadap kemungkinan dapat diubahnya perilaku agresif menjadi perilaku yang positif. Sebagai seorang yang bergelut di dunia pendidikan, penulis lebih tertarik dengan “pandangan yang lebih optimis” terhadap kemungkinan dapat diubahnya perilaku agresif.
Bab II
Teori
Para ahli teori
belajar sosial (Social Learning Theory) memberikan sumbangan yang lebih optimis
mengenai kejadian perilaku agresif. Dalam pandangannya Bandura, Dorothea Ross
dan Sheila Ross (1961), perilaku agresif merupakan perilaku yang dipelajari,
baik melalui observasi maupun melalui pengalaman langsung, bukan sesuatu yang
dengan sendirinya ada di dalam diri manusia (not innately given). Bandura
berpendapat bahwa perilaku agresif timbul karena adanya pengalaman observasi
terhadap model yang terjadi tanpa disadari (modelling atau imitasi). Perilaku
akan ditiru bila; 1) orang yang ditiru dikagumi dan 2) meniru menimbulkan
perasaan bangga (me-nimbulkan penguatan emosional). Oleh karena itu, untuk
memahami sumber-sumber perilaku agresif dapat dimulai dengan mempelajari
kondisi-kondisi di luar diri individu ketimbang memperhatikan faktor individu
itu sendiri.
Pendekatan Bandura adalah suatu perluasan dari behaviorisme yang pada dasarnya memandang perilaku manusia dibentuk oleh pengalaman-pengalaman hidup mereka, perilaku manusia terbentuk oleh ganjaran dan hukuman-hukuman yang dialaminya setiap hari. Bandura mencoba mengembangkan konsep-konsep yang digunakan pada operant dan classical cond-tioning untuk menjelaskan perilaku sosial manusia yang kompleks. Konsep utamanya adalah penguatan dan imitasi. Dalam memandang perilaku agresif, Bandura menyatakan bahwa jika anak-anak menjadi saksi yang pasif pada sebuah tayangan yang agresif, mereka akan meniru perilaku agresif tersebut jika ketika diberi kesempatan (Bandura, Dorothea Ross dan Sheila Ross, 1961).
Proses sosialisasi, yaitu transfer nilai dan norma dari orangtua ke anak, berpengaruh secara langsung pada perilaku anak. Tujuan utama dari proses sosialisasi orangtua dan anak adalah menumbuhkan kepatuhan atau kesediaan mengikuti keinginan atau peraturan tertentu. Anak akan melakukan keinginan orangtua bila ada kelekatan yang aman di antara mereka. Tujuan kedua proses sosialisasi adalah menumbuhkan self regulation (pengaturan diri), yaitu kemampuan mengatur perilakunya sendiri tanpa perlu diingatkan dan diawasi oleh orangtua. Dengan adanya self regulation ini, anak akan mengetahui dan memahami perilaku seperti apa yang dapat diterima oleh orangtua dan lingkungannya (Hetherington & Parke, 1999).
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya mempengaruhi perilaku anak adalah pola asuh orangtua. Menurut Baumrind, Maccoby dan Martin (dalam Hetherington & Parke, 1999). Pola asuh orangtua yang permisif dan tidak mau terlibat berhubungan dengan karakteristik anak yang impulsif, agresif dan memiliki keterampilan sosial yang rendah. Sedangkan anak yang orangtuanya otoriter cenderung menunjukkan dua kemungkinan, berperilaku agresif atau menarik diri. Hal ini sejalan dengan penelitian Chamberlain, dkk (dalam Yanti, 2005) yang menyebutkan bahwa pola asuh orangtua yang berhubungan dengan gangguan perilaku pada anak adalah penerapan disiplin yang keras dan tidak konsisten, pengawasan yang lemah, ketidakterlibatan orangtua, dan penerapan disiplin yang kaku.
Di sisi lain, lingkungan di luar keluarga yang cukup berperan bagi perkembangan perilaku anak adalah teman sebaya, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Anak-anak yang ditolak dan memiliki kualitas hubungan yang rendah dengan teman sebaya cenderung menjadikan agresivitas sebagai strategi berinteraksi (Dishion, French & Patterson, 1995 dalam Yanti, 2005). Sementara, anak-anak yang agresif dan memiliki perilaku antisosial akan ditolak oleh teman sebaya dan lingkungannya sehingga mereka memilih bergabung dengan teman sebaya yang memiliki perilaku sama seperti mereka, yang justru akan memperparah perilaku mereka (Jimerson, dkk., 2002).
Sehubungan dengan pandangan-pandangan di atas yang menyiratkan bahwa perilaku agresif bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia, tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan, maka tulisan berikut lebih berorientasi pada pandangan-pandangan tersebut, di mana aplikasinya dapat digunakan dalam dunia pendidikan yang juga berpendapat bahwa pendidikan dan pengalaman akan dapat membentuk perilaku seseorang.
Pendekatan Bandura adalah suatu perluasan dari behaviorisme yang pada dasarnya memandang perilaku manusia dibentuk oleh pengalaman-pengalaman hidup mereka, perilaku manusia terbentuk oleh ganjaran dan hukuman-hukuman yang dialaminya setiap hari. Bandura mencoba mengembangkan konsep-konsep yang digunakan pada operant dan classical cond-tioning untuk menjelaskan perilaku sosial manusia yang kompleks. Konsep utamanya adalah penguatan dan imitasi. Dalam memandang perilaku agresif, Bandura menyatakan bahwa jika anak-anak menjadi saksi yang pasif pada sebuah tayangan yang agresif, mereka akan meniru perilaku agresif tersebut jika ketika diberi kesempatan (Bandura, Dorothea Ross dan Sheila Ross, 1961).
Proses sosialisasi, yaitu transfer nilai dan norma dari orangtua ke anak, berpengaruh secara langsung pada perilaku anak. Tujuan utama dari proses sosialisasi orangtua dan anak adalah menumbuhkan kepatuhan atau kesediaan mengikuti keinginan atau peraturan tertentu. Anak akan melakukan keinginan orangtua bila ada kelekatan yang aman di antara mereka. Tujuan kedua proses sosialisasi adalah menumbuhkan self regulation (pengaturan diri), yaitu kemampuan mengatur perilakunya sendiri tanpa perlu diingatkan dan diawasi oleh orangtua. Dengan adanya self regulation ini, anak akan mengetahui dan memahami perilaku seperti apa yang dapat diterima oleh orangtua dan lingkungannya (Hetherington & Parke, 1999).
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya mempengaruhi perilaku anak adalah pola asuh orangtua. Menurut Baumrind, Maccoby dan Martin (dalam Hetherington & Parke, 1999). Pola asuh orangtua yang permisif dan tidak mau terlibat berhubungan dengan karakteristik anak yang impulsif, agresif dan memiliki keterampilan sosial yang rendah. Sedangkan anak yang orangtuanya otoriter cenderung menunjukkan dua kemungkinan, berperilaku agresif atau menarik diri. Hal ini sejalan dengan penelitian Chamberlain, dkk (dalam Yanti, 2005) yang menyebutkan bahwa pola asuh orangtua yang berhubungan dengan gangguan perilaku pada anak adalah penerapan disiplin yang keras dan tidak konsisten, pengawasan yang lemah, ketidakterlibatan orangtua, dan penerapan disiplin yang kaku.
Di sisi lain, lingkungan di luar keluarga yang cukup berperan bagi perkembangan perilaku anak adalah teman sebaya, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Anak-anak yang ditolak dan memiliki kualitas hubungan yang rendah dengan teman sebaya cenderung menjadikan agresivitas sebagai strategi berinteraksi (Dishion, French & Patterson, 1995 dalam Yanti, 2005). Sementara, anak-anak yang agresif dan memiliki perilaku antisosial akan ditolak oleh teman sebaya dan lingkungannya sehingga mereka memilih bergabung dengan teman sebaya yang memiliki perilaku sama seperti mereka, yang justru akan memperparah perilaku mereka (Jimerson, dkk., 2002).
Sehubungan dengan pandangan-pandangan di atas yang menyiratkan bahwa perilaku agresif bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia, tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan, maka tulisan berikut lebih berorientasi pada pandangan-pandangan tersebut, di mana aplikasinya dapat digunakan dalam dunia pendidikan yang juga berpendapat bahwa pendidikan dan pengalaman akan dapat membentuk perilaku seseorang.
BAB III
KONSEP
OBSERVASI
1.
What :
Mengobservasi Perilaku Agresif
2.
Why :
Untuk mengetahui gambaran perilaku agresif siswa kelas kelas 3 SDN KEmyaoran II
Surabaya
3.
Where :
Tempat observasi di SDN Kemayoran 2 Surabaya
4.
When :
Pertama : Senin 24
Oktober 2016
Kedua : Selasa 25 Oktober 016
5.
Who :
Siswa-siswi Kelas3 SDN Kemayoran 2 Surabaya
6.
How :
Cara melakukan observasi :
1.
Mencari teori dan menemukan
indikatornya terlebih dahulu, kemudian membuat point-point variable perilaku
yang harus diamati, selanjutnya terjun ke lapangan untuk melakukan pengamatan
nonpartisipatif.
2.
Pengamatan dilakukan pada satu
kelas dengan waktu
3.
Dibantu dengan foto untuk mengetahui situasi kelas, agar proses observasi lebih
detile.
4.
Sembari itu observer melakukan
pencatatan point-point yang berhubungan dengan tujuan observasi dengan cara
Jotted notes yang diisikan pada table checklist serta keterangan penjelasan
disampingnya
5.
Setelah dari lapangan observer
akan mengamati kembali hasil foto
- foto dan kemudian di catat secara full fieldnotes.
3.2
Indikatoramatan
Berkowitz
et al. (dalam Wiwid Kurniawati, 2010: 6) mengelompokkan
agresivitas
dalam tiga jenis yaitu:
a.
Agresif fisik yaitu perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang
secara
fisik seperti memukul dan menendang.
b. Agresif verbal yaitu
perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang
c.
Agresif pasif yaitu perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang
tidak
secara fisik dan verbal misal menolak bicara , bungkam, dan tidak peduli
Kisi-Kisi
Pedoman Observasi Tingkah Laku Agresif Anak:
No
|
Indikator
|
Sub Indikator
|
1
|
Agresivitas fisik
|
a. Anak memukul
|
|
|
b. Anak mendorong
|
|
|
c. Anak berkelahi
|
|
|
d. Anak merusak barang
|
|
|
e. Anak mencubit
|
2
|
Agresivitas verbal
|
a. Anak mencaci dan memaki
|
|
|
b. Anak menghina/mengejek
|
|
|
c. Anak berkata kotor
|
|
|
d. Anak mengancam
|
3
|
Agresivitas pasif
|
a. Menolak bicara
|
|
|
b. Bungkam
|
|
|
c. Tidak perduli
|
Tabel
1 Observasi Pertama “Jotted Notes : Observasi perlaku Assertive pada siswa-siswi Kelas 3
Mata
Pelajaran PPKN Nama Guru N Tanggal 3 November 2016
cc
|
Indikator
|
Sub Indikator
|
Nama Siswa
|
|||||
1(r)
|
2(n0)
|
3(v)
|
4(f)
|
5(p)
|
6(na)
|
|||
1
|
Agresivitas fisik
|
a. Anak memukul
|
5
|
2
|
4
|
0
|
1
|
0
|
|
|
b. Anak mendorong
|
4
|
1
|
4
|
0
|
1
|
0
|
|
|
c. Anak berkelahi
|
4
|
1
|
1
|
0
|
1
|
0
|
|
|
d. Anak merusak barang
|
5
|
|
5
|
0
|
1
|
0
|
|
|
e. Anak mencubit
|
3
|
1
|
1
|
0
|
1
|
0
|
2
|
Agresivitas verbal
|
a. Anak mencaci dan memaki
|
4
|
5
|
1
|
0
|
1
|
0
|
|
|
b. Anak menghina/mengejek
|
1
|
3
|
1
|
0
|
0
|
0
|
|
|
c. Anak berkata kotor
|
5
|
2
|
1
|
0
|
1
|
0
|
|
|
d. Anak mengancam
|
2
|
|
1
|
0
|
0
|
0
|
3
|
Agresivitas pasif
|
a. Menolak bicara
|
4
|
2
|
4
|
1
|
0
|
0
|
|
|
b. Bungkam
|
5
|
1
|
1
|
1
|
0
|
0
|
|
|
c. Tidak perduli
|
5
|
1
|
5
|
1
|
1
|
0
|
Jumlah Total
|
41
|
19
|
25
|
2
|
8
|
0
|
Bab IV
4.1
Hasilamatan
Pembahasan Proses Observasi :
Sebelum melakukan observasi, penulis sudah izin secara
resmi untuk melakukan observasi di kelas. Prosesnya sangat mudah, karena
penulis sudah mengenal beberapa guru yang mengajar disana, dan sasaran kelasnya
adalah kelas 3 dengan mata pelajaran PPKN
, Penulis pernah mengajar mata pelajaran tersebut dikelas 3 dan selain itu menurut
penulis mengamati perilaku Agresif
pada mata pelajaran
sosial lebih mudah tanpa harus setting metode kepengajaran.
Tiba saatnya pada hari penulis
melakukan observasi. Pada hari pertama observasi, penulis menemui Ibu Nely di ruang guru
terlebih dahulu kemudian bersama-sama menuju ke ruang kelas Ruang Sumber. Kebetulan
ruangannya terletak pada gedung Timut dan berada di lantai 1 ruangan sebelah kantor
kepala Sekolah. Gedung tersebut masih tergolong baru
karena jenis bangunannya sudah mengikuti model minimalis zaman terbaru. Jendela dan kaca terbuat dari aluminium . tu Ac
Didalam ruangan yang berukuran kurang lebih seluas 7 x 8
meter, terasa cukup dan nyaman untuk ditempati sejumlah 3 anak kelas 2, 6 Siswa Kelas 3,6 Anak kelas 4, 6 Anak Kelas 5 dan 6 anak kelas 6, total
keseluruhan 27 siswa.Antara kelas 2 dan 3 menjadi satu, kelas 4 dan 5 menjadi satu dan kelas
6 sendiri diberi sekat spanduk yang ditempel dipapan white board Perabotan belajar seperti bangku kayu sudah disediakan sesuai jumlah
siswa dengan ditambah 1 bangku kosong diujung kiri paling belakang. Dibagian
depan terdapat 1 meja dan kursi kayu untuk bapak / ibu guru yang mengajar.
Kebutuhan lainnya yang juga terdapat didalam ruangan
tersebut, seperti 3 papan tulis whiteboard dan dua mading yang berada di dinding samping
kanan depan dan dinding paling belakang. Dibagian atas papan tulis terdapat
lambing Negara Burung Garuda yang diapit oleh Bapak Presiden Joko Widodo dan
Wakilnya Jusuf Kalla. Diatasnya lambing Negara tersebut agak serong mendekati
foto wakil Presiden, Dibagian kanan
papan tulis tertempel sebuah kalender gantung yang cukup besar yang ditumpuk
dibagian atasnya dengan jam dinding. Tambahan lainnya terdapat
tempelan-tempelan kertas yang berisi jadwal piket siswa selama satu minggu.
Barang-barang lainnya yang juga berfungsi sebagai pendukung
belajar seperti 3 kipas angin dan1 AC juga tersedia di ruangan tersebut. Letaknya ditempel ditembok bagian
atas di dinding dekat masing kelas dan Ac menempel didekat ruangan kelas 6.
Dalam proses observasi dikelas tersebut penulis duduk
dikursi paling belakang dengan sikap hanya mengamati, mencatat dan merekam
proses belajar, tanpa melakukan intervens apapun didalam kelas. Mejanya berbentuk persegi panjang dan setiap
hari anak bebas memilih tempat duduk.
Selama observasi hari pertama, penulis benar-benar
mengamati secara 1 jam pelajaran dengan menggunakan 8 item sub-indikator untuk mengamati
perilaku aagresif siswa-siswi kelas 3 SDN KEmayoran 2 Surabaya.
Awalnya penulis menggunakan butir-butir sub-indikator sejumlah 12 item..
Seperti yang sudah penulis laporkan hasilnya dalam table
diatas, telah diperoleh data yang penyebarannya tidak merata. Dan setiap subyek
penelitian hanya memenuhi beberapa bagian item saja dari 12 item diatas. Sehingga
agar mempermudah pembacaan perilaku assertive dalam kegiatan belajar mengajar,
perlu dibuat suatu standart untuk menentukan perilaku assertive siswa ada yang
tinggi dan ada yang rendah.
Penentuannya
adalah sebagai berikut :
Ada lima tingkatan menurut Suharsimi Arikunto
(2009:156)..
Kriteria Kemunculan Anak Menampilkan Tingkah
Laku Agresif
1.
Kriteria sangat baik <21%
2.
Kriteria baik 21% - 40%
3. Cukup 41% - 60%
4. Kurang
61% - 80%
5. Kurang sekali 81% - 100%
Kriteria
Kemunculan Anak Menampilkan Tingkah Laku Agresif
Table 1.5 Standart perilaku agresif
No
|
Kriteria
|
Jumlah anak dalam persen
|
1
|
.Kriteria sangat baik
|
<21%
|
2
|
Kriteria baik
|
21% - 40%
|
3
|
Cukup
|
41% - 60%
|
4
|
Kurang
|
61% - 80%
|
5
|
Kurang sekali
|
81% - 100%
|
Terkadang
tidak semua siswa secara merata memenuhi dalam tiap-tiap item, ada beberapa
siswa yang aktif disalah satu item dan bahkan bisa berkali-kali memenuhi item
tersebut, namun item selainnya masih kosong. Hal ini penulis hitung secara
total kebawah, setiap siswa akan mendapati total item yang kemudian dapat
dimasukkan dalam kategori yang sesuai pada table standart perilaku assertive
diatas.
Berdasarkan hasil
pengkategorian perilaku agresif yang dimiliki oleh siswa kelas 3 SDN
Kemayoran 2 Surabaya pada konteks observasi hari pertama
diatas, yaitu siswa yang memiliki perilaku Agresif“Tinggi”
ada 3 siswa. Siswa yang memiliki perilaku assertive
“Cukup tinggi” ada siswa. Kemudian siswa
yang memiliki perilaku assertive “Sedang” ada 1 siswa. Selanjutnya siswa yang
memiliki perilaku assertive “Rendah” ada 18 siswa. Dan kategori terakhir bagi
siswa yang “Tidak ada” atau tidak memiliki perilaku assertive ada 3 siswa.
Siswa yang tidak masuk ada 5 siswa. Adapun rinciannya penulis sajikan dalam
bentuk table dibawah ini.
Hasil observasi perilaku Agresif siswa 3 pada hari pertama
Materi “PPKN; Pengajar pak Nely; Tanggal
3 November 2016
Nama
Siswa
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
|
Jumlah Item siswa
|
16
|
7
|
2
|
2
|
8
|
|
Kesimpulan kategori
|
41 (68%)
CuKup
|
19(3,1%)
Baik
|
25(4,1%)
Baik
|
2(0,3%)
Sangat Baik
|
8(1,3%)
Sangat Baik
|
Siswa tidak masuk
Pada observasi hari kedua, penulis mengamati pada kelas
yang sama namun waktu, pengajar dan mata pelajarannya berbeda. Adapun data
perilaku assertive siswa adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Observasi Pertama “Jotted Notes : Observasi perlaku
Assertive pada siswa-siswi Kelas 3
Mata
Pelajaran PPKN Nama Guru N Tanggal 3 November 2016
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Nama Siswa
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Jumlah Item siswa
|
17
|
14
|
7
|
2
|
6
|
0
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Kesimpulan kategori
|
21
Sangat Baik
|
14
Sangat Baik
|
7
Sangat Baik
|
2
Sangat Baik
|
6
Sangat Baik
|
0
Sangat Baik
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Siswa
tidak masuk
Berdasarkan hasil pengkategorian perilaku assertive yang
dimiliki oleh siswa kelas X IPS3 pada konteks observasi hari kedua diatas,
yaitu siswa yang memiliki perilaku assertive “Tinggi” ada 1 siswa. Siswa yang
memiliki perilaku assertive “Cukup tinggi” ada 7 siswa. Kemudian siswa yang
memiliki perilaku assertive “Sedang” ada 12 siswa. Selanjutnya siswa yang
memiliki perilaku assertive “Rendah” ada 10 siswa. Dan kategori terakhir bagi
siswa yang “Tidak ada” atau tidak memiliki perilaku assertive ada 1 siswa.
Siswa yang tidak masuk ada 1 siswa.
KESIMPULAN
Pada observasi hari pertama dan hari kedua, diperoleh hasil
yang berbeda. Ada banyak faktor yang membedakan observasi dilakukan yaitu dari
segi waktu pelaksanaan observasi, faktor pengajar dan jenis mata pelajaran,
mood siswa dll. Namun dalam hal ini penulis tidak hendak menganalisa penyebab
perbedaan kedua hasil observasi tersebut.
Observasi hari pertama
|
Observasi hari kedua
|
|||||
Tinggi
|
2
|
6.25%
|
Tinggi
|
1
|
3.13%
|
|
Cukup Tinggi
|
3
|
9.38%
|
Cukup tinggi
|
7
|
21.88%
|
|
Sedang
|
1
|
3.13%
|
Sedang
|
12
|
37.5%
|
|
Rendah
|
18
|
56.25%
|
Rendah
|
10
|
31.25%
|
|
Tidak ada
|
3
|
9.38%
|
Tidak ada
|
1
|
3.13%
|
|
Yang Tidak masuk
|
5
|
15.63%
|
Yang Tidak masuk
|
1
|
3.13%
|
|
32
|
100%
|
32
|
100%
|
Dari total 32 siswa dalam kelas
X IPS 3, kesimpulan hasil observasi yang dikumpulkan oleh penulis pada hari
pertama menunjukkan bahwa, perilaku assertive siswa kelas X IPS 3 banyak yang
rendah, yaitu terdapat 18 siswa dari 32 siswa yang memiliki perilaku assertive
“Rendah” atau sekitar 18/32x100% = 56,25 %.
Dan pada observasi hari kedua,
dari total 32 siswa dalam kelas X IPS 3, diperoleh kesimpulan bahwa siswa yang
memiliki perilaku assertive “Rendah” ada 10 siswa atau sekitar 10/32 x 100% =
31,25 % dan yang memiliki perilaku assertive “sedang ada 12 siswa atau sekitar
12/32 x 100% = 37,5%. Kesimpulannya perilaku assertive siswa kelas X IPS 3 pada
hari kedua lebih banyak yaitu ketika mata pelajaran Bahasa Indonesia
berlangsung, dibandingkan dengan perilaku assertive siswa kelas X IPS3 pada
hari pertama ketika mata pelajaran Geografi berlangsung.
SARAN
Menurut penulis dalam penelitian ini, sebenarnya sudah
dilakukan dengan sangat baik. Namun lebih baik lagi jika penelitian observasi
ini dilakukan lebih dari 2x, dilakukan pada mata pelajaran dan pengajar yang
sama, serta waktu mata pelajaran yang sama pula. Sebab observasi pertama
dilakukan siang hari, dan observasi kedua dilakukan pagi hari. Perbedaan waktu
ini kemungkinan dapat mempengaruhi mood siswa dalam melakukan perilaku
assertive dikelas.
Selain itu, konsultasi dengan para ahli mengenai teori
assertive haruslah ditambah jumlah konsultasinya. Agar mendapat masukan yang
baik sebelum melakukan observasi di lapangan.
REFLEKSI
Perilaku assertive sangatlah
baik untuk ditanamkan pada generasi bangsa ini. Penulis selaku orang yang
sedang dalam proses belajar, ingin memiliki perilaku assertive agar lebih
maksimal dalam proses pembelajaran dan perolehan ilmu yang bermanfaat. Kendala
mental, menghadapi senior atau karakter yang lebih superior terkadang dapat
membatasi perilaku assertive penulis. Padahal rugi sekali jika tidak dapat
mengungkapkan secara tegas dan jujur hal-hal yang ingin ditanyakan, ingin
didiskusikan dan lain-lain. Selain itu kesempatan waktu dan awareness dari pendamping belajar,
menurut penulis tak semuanya dapat men-support
atau memberi kesempatan untuk meningkatkan mental sebagai seorang
pembelajar. Dimana pembelajar sangatlah wajar untuk berbuat kesalahan, sebab
yang lebih penting adalah bagaimana menyikapi kesalahan tersebut agar tidak
terulang kembali dikemudian hari. Dan pada saatnya nanti ketika action
dilapangan nyata, lulusan pembelajar sudah siap menerapkan ilmu untuk
pembangunan bangsa ini menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Hayati Nur. ND. STRATEGI PENINGKATAN PERILAKU ASERTIF ANAK USIA DINI MELALUI
PEMBELAJARAN BERMAIN PERAN.
Karyanti; Adi; Immanuel. Keefektifan
Pelatihan Keterampilan Asertif Untuk Meningkatkan Perilaku Asertif Siswa Korban
Bullying di SMA. Jurnal Pendidikan Humaniora Vol. 3 No. 2, Hal 116-121,
Juni 2015. Journal.um.ac.id/index.php/jph
Ridley,
Shane.
Assertiveness - fine in
theory, difficult in practice. AIMS Journal, 2005, Vol 17 No 4.
aims.org.uk/?Journal/Vol17No4/assertiveness
Sikone, Stefen. 2006. Menanamkan
Sikap Asertif di sekolah. Tengaran : groups.yahoo.com/group/pakguruonline/message/2400
Smith, Manuel. 1975. When
I Say No, I Feel Guilty
Vivi; Pramadi. Pelatihan asertivitas dan peningkatan perilaku asertif pada siswa-siswi SMP.
Jurnal Psikologi.
Anima, Indonesia Psychological Journal,
2005, Vol. 20, No 2, 149-168
.
в읤혈디� 츔멬다 – 카지노 사이트
BalasHapus카지노 사이트 님이지노 【 VEGAS 】티레스떸 프, 운트깜하교, 그티레룼, kirill-kondrashin 지카지노 프, 운노사이트; 젤떸렠�룼, 샸사이트 프, 카지노 사이트 운트레룼, 샸사이트 프, 운트사이�